![]() |
"Hatiku kacau melihat senyummu yang memukau." |
Apakah Laila sudah jatuh hati pada seseorang? Kalau iya, siapa?
Pertanyaan itu menjadi headline besar bagi seluruh pria jomblo di seluruh kota.
***
“Din, Ooii… Udiiin…” Sebuah tangan yang putih mulus nan lembut melambai di depan mataku.
“UDIIINNN!!!!” Bentakan dengan suara indah itu mengagetkanku.
“Eehh…” Aku gelagapan, menoleh kiri kanan.
“Ada apa La?” Tanyaku dengan memasang senyum kecut ketika dirinya menatapku dengan wajah cemberut.
“Kau melamun apa, Din?” Laila bertanya kesal.
Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Tentu saja. Aku tidak mungkin menjawabnya dengan berkata, ‘Aku melamunkanmu, La. membayangkan, apakah aku pantas menjadi pasangan hidup bidadari sepertimu?’ Tidak, tidak. Aku segera menggeleng. Rasanya, aku tidak melamun hingga sejauh itu.
“Halah, kau selalu saja begitu, Din. Menggeleng terus ketika ditanya kenapa. Oi, ‘kenapa’ itu jawabannya ‘karena’, bukan geleng-geleng saja.” Ujar Laila. glek.. Aku menelan ludah. Eehh.. bukankah biasanya, si cewek yang dibilangin seperti itu. Kenapa kalau hubunganku dengan Laila, malah dia yang mengatakannya?
“”Ooii… Udiinn… Kau melamun lagi ya. Ada apa sih?” Laila kembali bertanya, aku juga kembali menggeleng.
“Halah, terserah kau lah, Din.” Laila menyerah bertanya padaku. “Yang penting, kau jangan lupa untuk datang ke pesta ulang tahunku nanti malam. Ingat! Bapak mengundangmu.” Imbuhnya sambil menunjuk nunjuk ke arahku, yang malah membuat dirinya yang cantik terlihat lucu.
***
“Kau tidak faham, Din?” Tanya Bayu yang sedang melihatku bercermin.
“Faham apa? Pelajaran Fisika?” Tanyaku sambil mengenakan kaos polos berlengan panjang.
“Alamak, bukanlah.”
“Lah, terus?” Tanyaku masih tidak faham.
"Kau tidak tahu kenapa Laila selalu menolak semua lamarannya?” Bayu sama sekali tidak menjawab. Ia malah menjelaskan dengan memberikan pertanyaan selanjutnya.
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Haahh…” Bayu melepas nafas berat, “Itu karena….” Bayu mengatakannya, dan sontak kubentak,
“TIDAK MUNGKINN!!”
***
Lailatul Hidayah. Aku sudah mengenalnya bahkan sebelum masa taman kanak-kanak. Aku bahkan sudah sering bermain bermain bersamanya saat masih baru bisa berjalan.
Sebenarnya, aku bukanlah orang spesial. Mamakku hanya seorang pembantu di rumah Laila yang mewah (mepet sawah). Bapak Laila baik hati dan kaya (bukan kaya‘ monyet tentunya). Beliau memberikan fasilitas pada para pembantu dan keluarganya, tak terkecuali mamakku. Keluarga kami tinggal di sana. Aku dan adikku pun lahir di sana.
Beberapa tahun kemudian, aku tumbuh di sana. Karena seorang anak pembantu, aku pun juga harus bantu-bantu. Tugasku tidak banyak sih. Biasanya aku diutus Pak Majikan – begitu cara kami para anak pembantu memanggil bapak Laila. Yaitu, membangunkan Laila yang bangsawan (bangsa tangi awan). Pak Majikan juga sering memberikanku tugas untuk menemani Laila bermain. Alasannya simple, aku dan Laila seumuran, jadi harusnya berteman.
Tresno jalaran soko kulino.
Aku tersenyum mengingat kalimat itu. Mungkin saja…. Tidak, tidak. aku menggeleng kuat-kuat. Cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan, mungkin. Lagian, mana mungkin Laila jatuh cinta pada orang dengan otak konslet dan wajah burik macam diriku ini. Lagian, statusku pun sangat rendah.
“Heeiiii…. Udin, kau melamun lagi.” Suara halus Laila yang ngambek mengagetkanku.
“Eehh.. Tidak ada apa-apa, La.” jawabku gelagapan.
“Apanya yang tidak apa-apa. Kau tadi tiba-tiba menggeleng kuat kuat macam ni.” Laila menirukannya. Ia terlihat manis dan imut.
“Jadi, ada apa, Din?” Laila kembali bertanya. Aku masih diam.
“Diinn….” Laila mulai berbicara serius, “Katakan, Din! Bukankah tidak ada rahasia di antara kita?” Perkataan Laila semakin membuatku salah tingkah.
“Apa, Din?” Laila mendesak.
“Anu… La… Eehhh…”
“Apa, Din?” Laila terus mendesak, buru buru.
“Aaakkhh… iya-iya La. Akan kukatakan. Kenapa sih kau selalu menolak lamaran orang orang?” Aku malah berbohong.
Seketika itu, Laila diam. Ia menunduk, raut wajahnya berubah drastis. Ia tidak lagi senang, khawatir, atau perasaan hidup lainnya. Laila terus menunduk, merengut, diam, sama sekali tidak meresponku. Satu kata yang terasa saat ini. Tegang.
“Eehh… ada apa, La?” Aku semakin salah tingkah.
“….” Laila hanya diam. Aku semakin salah tingkah, namun sekaligus penasaran.
“La.” Aku mencoba memanggilnya lagi. Namun, Laila terus menerus diam. Wajahnya tak kunjung memperlihatkan ekspresi senang. Sebagai jawaban, Laila mencengkram kaosku dengan tangan mungilnya.
“Ikut aku, Din.” Ujarnya parau.
***
Langit bersih dari awan. Hitam namun terang. Bulan purnama yang bundar sempurna terpasang indah di angkasa. Angin berhembus pelan, mengelus-ngelus kulit dengan nyaman.
Laila berhenti menarikku ketika sampai di taman, jauh dari pesta ultahnya sendiri. Namun, aku – mungkin juga dengan Laila – tidak peduli. Di sini, dengan banyaknya bunga di mana-mana, di bawah bulan purnama, dibasuh angin malam yang segar nan nyaman, membuat taman ini tak kalah indah dengan pesta ulang tahun di sana.
Namun, tahukah kau? yang paling indah malam ini bukanlah bulan purnama di atas sana. Juga bukan ratusan bunga yang ada di sekitar. Menurutku, yang paling indah malam ini adalah dirimu, Laila.
Tidak, Tidak. Aku menggelengkan kepala sambil menepuk pipiku supaya sadar. Sadar diri, Udin. Sadar posisi. Aku terus merapal mantra itu dalam hati.
“Heii.. Udin.” Suara panggilan Laila kembali memecahkanku dari lamunan. Kali ini, suaranya lebih parau, ada perasaan sedih di sana.
‘Eehh.. ada apa ini?’ Tanyaku dalam hati.
“Hiks.. hiks..” Air bening macam intan mulai mengalir di pipi tembamnya yang imut. Matanya yang indah mulai memerah. Laila hampir menangis.
“Kau sama sekali tidak peka, Din.” Ucapnya dengan sesunggukan.
Eehh… tidak peka. Apa maksudnya?
“Hiks.. hiks.. kau sama sekali tidak faham, Din.” Tangis Laila semakin menjadi, aku pun juga semakin salah tingkah. Bingung cara menenangkannya. Hatiku rasanya tersayat melihatnya merasa sakit dan sedih.
Tunggu? Kenapa dia tadi bilang tidak faham? Kenapa ini malah mirip dengan apa yang dikatakan Bayu? Tapi, masak benar, bahwa… bahwa sebenarnya.... Laila itu… TIDAK MUNGKIN… Aku segera menggeleng kuat kuat.
“Din, sebenarnya…” Laila diam. Wajahnya merah.
TIDAK MUNGKIN. Tidak mungkin apa yang dikatakan Bayu benar. Bahwa… Bahwa sebenarnya… Laila itu… menyukai…. sesama perempuan.
“Diinn…” Laila semakin bersemu merah.
TIDAK MUNGKIN, aku berusaha membuangnya.
“Sebenarnya…”
TIDAK MUNGKIN, aku menggeleng kuat-kuat.
“Aku…”
TIDAK MUNGKIN. Aku terus berteriak dalam hati, masih belum bisa menerima kegilaan ini.
“Aku…” Laila kembali diam, membuatku semakin geram dan gregetan.
“Aku…. Mencintaimu, Din.” Ujarnya halus.
TIDAK MUNG… Eehh…. apa? apa yang tadi dikatakan Laila?
“Tidakkah kau faham, Din? Aku selama ini mencintaimu.” Laila kembali mengulangi ucapannya, Kali ini dengan lebih lancar dan lembut.
“Kumohon, Din! Aku hanya ingin menikah denganmu.” Suara Laila semakin parau. Air matanya semakin membasahi pipinya.
“Tapi La…” Suaraku tercekat. Aku tidak mau mengatakannya. Bahwa aku tidak layak dengannya. Aku bukan orang tampan. Wajahku burik macam FF. Aku tidak pintar. Otakku macam HP kentang dipaksa main Genshin Impact. Terlebih dari itu semua, aku hanya seorang…
“Heeii.. Udin, ada apa?” Laila bertanya dengan wajahnya yang basah oleh air mata. Aku masih diam, kesulitan menjelaskan.
“Din… Hei, Din.”
Aku masih diam beberapa saat. Hingga,
“Maafkan aku, La. Aku tidak bisa.” Aku juga menjawabnya dengan terisak.
“Heh, kenapa Din? Kenapa?” Tangis Laila semakin menjadi.
“Sebenarnya….” Aku berhenti, tangisku meledak.
“Sebenarnya….” Aku kembali berhenti berkata. Ini berat sekali. Aku sama sekali tidak ingin mengakuinya.
“Sebenarnya, aku juga mencintaimu, La.” Kini, giliran tangisku yang menjadi. Di depanku, Laila sudah bisa menenangkan diri.
“Tapi.. hiks.. tapi tidak bisa, La.” Aku semakin menangis.
“Heh, kenapa, Din?” Laila kembali menangis.
“Itu… Karena… Hiks.. Hiks… Kita.. Kita adalah saudara. Hiks… Hiks…” Kali ini aku benar-benar berhenti berkata. Ini memalukan. Seumur hidup aku menutupinya, berharap tidak ada yang tahu. Tapi malam ini, di depan perempuan yang kucintai – setelah Mamak tentunya – aku mengaku. Bahwa kami sebenarnya saudara. Aku tidak kuasa melanjutkannya, bahwa Pak Majikan dulu memperkosa hampir seluruh pembantu perempuannya. Mamakku juga salah satunya. DASAR!! Diam sebagai Pak Majikan, bergerak seperti Herry Wirawan. DASAR!! Aku iri tahu.
Wow plot twist
BalasHapusPosting Komentar